Sabtu, 31 Januari 2015

Teruntuk Dirimu

Tulisan ini ditulis dalam deru degup yang kencang..
Di tengah keharuan yang membentuk harapan..

Maafkan hamba ya Allah, karena terlalu terlarut dalam perasaan..

Ada sekitar tujuh miliar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar, harap-harap cemas. gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.

Paragraf sebelumnya saya ambil dari salah satu buku Tere-Liye, "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah".

Ya, boleh jadi satu dari antara satu miliar lebih cerita tersebut merupakan cerita saya. Bisa saja cerita yang lalu, atau cerita yang sedang dijalani saat ini. Terasa atau tidak terasa, saya yakinkan, pastilah saya berada pada sebuah alur cerita yang besar, yang di dalamnya terdapat beberapa cerita yang berkumpul menjadi sebuah cerita. Dan cerita memang selalu bercerita bukankah?

Saya akui, dalam masa-masa yang lalu, saya mungkin telah melakukan kebodohan dengan mengatas namakan cinta. Sok sok menjadi orang yang benar, tanpa tahu sebetulnya itu salah. Atau sesungguhnya saya tahu itu salah, tapi menafikan diri dari kebenaran. Atau jatuh kembali di lubang yang sama setelah tahu itu salah, dan itu lebih buruknya.

Beruntungnya saya, memiliki lingkaran kecil yang senantiasa mengingatkan. Selalu memberitahu kebenaran dengan caranya. Dan saya belajar bahwa kebodohan-kebodohan yang terjadi di masa lalu, itulah yang membentuk saya yang sekarang ini. Dan masa lalu ini saya anggap sebagai sejarah, baik atau buruknya, utuh. Seperti kata Ust. Felix Siauw, "Sejarah memberikan kepada seseorang lebih dari sekedar informasi, ia menyusun cara berfikir seseorang saat ini dan menentukan langkah apa yang akan dia ambil pada masa yang akan datang."

Dari sini, saya belajar untuk memantaskan diri, memantapkan hati.

Jatuh cinta itu tidak salah, semuanya tergantung niat. Saya pun mulai mengangguk, menemukan korelasi kenapa Hadits Arba'in nomer satu itu mengenai niat.

Kata Ust. Fauzil 'Adhim, awalnya memang dari niat. Karena memang Allah selalu mengintai niat yang terbersit untuk dijadikan pertanyaan pertanggungjawaban. Juga karena Allah meletakkan karunia balasan pada niat yang diteguhkan.

Tentang menikah, ini pun sangat memerlukan niatan. Niatan yang mengandung unsur fitrah, fiqhiyah, dakwah, tarbiyah, sosial, dan budaya.

Sekali lagi, awalnya memang dari niat. Bayangkan.. Niat ketika kita berazzam untuk bersegera merenda sebuah kebersamaan suci dalam naungan ridha Ilahi. Niat ketika menetapkan kriteria-kriteria. Niat ketika kita memulai sebuah proses yang bersih, tanpa interaksi yang mubadzir dan merusak hati (khawatir dengan kebodohan yang terulang). Niat ketika menghilangkan kecenderungan dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Niat ketika dipertemukan. Niat dan niat, ketika dan ketika.

Yang saya fahami momen pernikahan adalah sebuah momen yang besar. Bagi saya sebagai seorang laki-laki, artinya saya akan bertambah amanah, dari tanggung jawab atas diri saya sendiri menjadi tanggung jawab terhadap sebuah keluarga. Yang teramat dahsyat sebenarnya ada di pihak wanita. Bayangkan dia yang sedari kecil sampai besar diasuh dan dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Lalu, ketika dia dipersunting oleh seorang pria, ada yang harus lebih dia hormati dan taati dari orang-orang yang mengasuhnya. Siapa? Betul, suaminya. Dalam konteks ini, mungkin saya, suatu saat nanti. Hal ini yang menjadi sebuah pertanyaan yang seharusnya mengokohkan niat. Seberapa besar kesiapan saya sebagai laki-laki, menerima limpahan perwalian seorang perempuan dari ayahnya? It's a Big Waw..

Lalu visi pun terpikirkan. Saya jadi teringat tulisan Ust. Anis Matta dalam "Serial Cinta"-nya.. Saya copas seutuhnya..
Adakah doa cinta yang lebih agung daripada apa yang diajarkan sang Rasul kepada kita di malam pertama saat kita meletakkan dasar dari bangunan hubungan jiwa yang abadi? Letakkan tangan kananmu di atas ubun-ubun istrimu, lalu ucapkan do'a ini dengan lembut:
Ya Allah, aku mohon pada-Mu kebaikan perempuan ini
dan semua kebaikan yang tercipta
bersama penciptaannya.
Saya rasa, dari sinilah sebuah Peradaban baru dimulai. Siapa yang tidak mau, dari sebuah keluarga kecil lahir jundi-jundi kecil berjiwa ghazi, kesatria penegak kebenaran pada jaman penaklukan Konstantinopel?

Dari sini pun, saya belajar untuk memantaskan diri, memantapkan hati.

Namun saya akui, saya masih terlalu jauh dari kata Shaleh untuk memulai sebuah proses Ta'aruf.
Tapi ya Allah, izinkan saya memulainya.
Jika memang sudah waktunya, tolong mudahkanlah, jika memang belum, berilah kelapangan hati untuk saya agar senantiasa terus memperbaiki diri.

Ya, ini doa. Doa itu.. Pergi dengan harapan, kembali lagi dengan ridha dan karunia..
Bismillah..


Teruntuk dirimu,
yang bila aku menujumu, selalu ingatkanku untuk berpaling pada Allah lewat matamu,
bertanyalah tentang kabar ibadahku