Minggu, 17 Agustus 2014

Can I Say and the Three Latest Movies

CanISay adalah sebuah digital magz yang Ka Reza dan teman-teman (termasuk saya) kembangkan. Terakhir kali itu kami publish CanISay Edisi 13. Nah, sudah lama kami tidak publish lagi, karena kesibukan masing-masing yang sudah memasuki dunia kerja. Jadi terpisah gitu. Tapi kemarin ini Ka Reza menginisiasi lagi untuk publish edisi selanjutnya, yakni Edisi 14. Dari situ timbul keyakinan, bahwa walaupun kita terpisah, CanISay tetap bisa publish. Hhe..


Di Edisi ke-14 nantinya, saya dapat tugas mengelola kolom Three Latest Movies. Tapi saya lupa gitu formatnya, seharusnya lihat format yang edisi sebelumnya sii. Yapu sudahlah, jadilah saya sudah terlanjur membuat tiga review film yang terakhir saya saksikan. Hhe..

Review yang saya buat lumayan juga kan buat ngisi blog saya sendiri. Hhe.. Berikut reviewnya. Selamat membaca.. ^^

The Art of Getting By (2011)

Entah ada kerasukan apa, seketika saya mengunduh hampir semua film yang dibintangi Emma Roberts. Mungkin karena saya senang melihat dia di film We’re Millers. Cantik-cantik imut lucu gitu. Hhe.. Dan Film inilah yang langsung saya tonton setelah saya mengunduhnya..

Setelah saya selesai menonton Film ini. Kesan pertama saya adalah hambar dan mengecewakan. Datang dengan kisah percintaan remaja, film ini sederhananya memohon para penonton untuk tidak terlalu serius menyaksikannya.

Film ini diaktori oleh Freddie Highmore, aktor yang pernah bermain sebagai Peter Llewelyn Davies di Film Finding Neverland. Di film The Art of Getting By ini dia bermain sebagai George, seorang remaja fatalistik yang akan lulus sekolah menengah atas di New York, meskipun dia berlum pernah mengerjakan tugas satu pun selama sekolahnya.

Dalam film ini, saya rasa peran George dimaksudkan sebagai seorang remaja yang depresi. Tapi Fred Highmore sepertinya tidak memiliki kemampuan untuk membuat penontonnya percaya bahwa peran George sedang mengalami depresi. Jika saya tidak bisa percaya bahwa peran George sedang tertekan, saya harus percaya bahwa dia pemalas. Lalu, apa yang menarik dan baru tentang seorang remaja pemalas?

George dipasangkan dengan seorang gadis bernama Sally, tokoh yang dimaksudkan tampak bahagia yang diperankan oleh Emma Roberts. George, di tengah perjalanannya mulai dibimbing oleh seorang seniman muda yang sukses, diperankan oleh Michael Angarano. Jika saya tidak langsung dengan serta merta melihat cinta segitiganya, mungkin film ini akan saya nikmati.

Film ini berusaha menciptakan sebuah dunia sekolah yang menempatkan semua karakter remajanya seperti remaja pada umumnya. Mereka pergi ke klub dan dansa selama malam perayaan Tahun Baru dan jika salah satu karakter harus bicara agak serius, mereka pergi ke bar, dan minum bir seperti film-film remaja lainnya. Terlepas dari kenyataan yang seharusnya, buat saya, mereka semua terlihat seperti anak kecil yang rasanya aneh melakukan rutinitas itu.

Untuk film ini, saya ingin mengacungkan jempol saya, tapi jempol saya sakit. Jadi?

Pride & Prejudice (2005)

Waktu itu saya sedang ingin nonton film ber-genre drama. Setelah mengintip HD Eksternal, ditemukanlah film ini. Ini pendapat saya:

Ceritanya cukup sederhana. Mr dan Mrs Bennet adalah orang tua dari lima anak. Semua anaknya wanita dan berusia pertengahan belasan hingga pertengahan dua puluhan. Pada saat itu, hukum di Inggris tidak membolehkan wanita mewarisi harta dari orang tuanya. Sehingga ketika Mr Bennet meninggal misalnya, anak-anak perempuannya akan menjadi tunawisma, kecuali mereka sudah menikah dengan suami yang akan memberikan kehidupan kepada mereka.

Mr Bingley dan Mr Darcy tiba di kota tempat keluarga Mr Bennet tinggal. Keduanya sangat kaya raya, sehingga Mrs Bennet melihat kesempatan untuk kedua anak perempuan tertuanya. Tapi tentu saja, perjalanan cinta sejati tidak akan pernah berjalan lancar seperti dalam cerita cinta lainnya hingga akhirnya happily ever after.

Saya sangat tertarik dengan karakter Elizabeth Bennet dalam film ini, karakter wanita klasik asyik. Peran ini dimainkan oleh Keira Knightley, yang menurut saya dimainkan sangat baik. Aksen mewah dan agak-agak flirty, dan dialog yang keluar dari lidahnya itu sedemikian rupa sehingga membuat saya ingin mendengarkan dengan seksama aksen British-nya.

Matthew Macfadyen yang memerankan karakter Mr Darcy juga oke. Dia sukses berperan sebagai pria Inggris romantis, penuh gairah, kompeten, dan berlidah kaku saat berbicara dengan wanita yang dicintainya.
Donald Sutherland pun melakukan pekerjaan yang sangat baik sebagai Mr Bennet, pria tunggal di sebuah rumah dengan enam perempuan. Adegan terakhirnya dengan Elizabeth menurut saya cukup menyentuh. Brenda Blethyn memainkan Mrs Bennet dengan keterampilan yang sama. Sebagai ibu yang aktif mencarikan suami untuk anak-anaknya, dia sukses membuat saya tertawa dan ingin sekali menamparnya pada saat yang sama.

Kesimpulan saya, Film ini adalah film dengan cerita yang sederhana namun dikemas dengan sangat baik. Film yang romantis klasik asyik. Dan saya tentunya selalu senang ketika sebuah film melebihi harapan saya, karena begitu banyak film yang malah cenderung melakukan sebaliknya. Bagi yang belum menontonnya, tontonlah, anda akan menemukan banyak hal untuk menikmati.

In to the Wild (2007)

Sean Penn, sutradara, menurut saya telah berhasil membuat salah satu film terbaik di dunia. Film ini diangkat dari bukunya Jon Krakauer. Dalam bukunya, Jon Krakauer menceritakan kisah nyata dari Chris McCandless, seorang lulusan Emory University yang berjalan ke padang liar Alaska pada tahun 1992 untuk menemukan jati dirinya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup. Di akhir film ini saya ikut berkabung kepada Chris akan tragedi dan kesalahan penilaiannya, sekaligus juga salut akan perjalanannya dan semangat pencarian dirinya. Ini indah, film ini indah, film ini mengambil sepotong hati saya.

Emile Hirsch yang memerankan Chris McCandless terlihat begitu menghayati perannya. Selama dua jam dan dua puluh lima menit film ini, Hirsch memberikan segalanya, kedalaman karakter yang menakjubkan. Setelah saya cari tahu, ternyata Penn sang sutradara bersikeras untuk melakukan pengambilan gambar di lokasi yang sama dengan perjalanan Chris yang lebih dari dua tahun.

Di awal perjalanan, Chris membakar lisensi dan kartu kreditnya, membuang tabungan $24.000 dan berangkat untuk mencari tempatnya, di dunia tanpa peta. Narasi dari adik Chris, Carine yang diperankan Jena Malone untuk mengungkapkan mengapa Chris memisahkan diri dari kedua orang tuanya yang kaya raya cukup apik.

Hal-hal yang dialami Chris sepanjang perjalanan cukup menarik, berteman dengan Wayne Westerberg, seorang pengelola peternakan di South Dakota, berkendara ke meksiko dalam sebuat trailer "rubbertramps" bersama Jan dan Rainey, mengalami sebuah roman tak selesai dengan gadis di bawah umur, Tracy, bersahabat dan hampir diangkat menjadi anak oleh Ron Franz. Terakhir, pergi ke padang liar Alaska, bertahan empat bulan isolasi, sampai tubuh kelaparan nya ditemukan dalam sebuah bus ditinggalkan. Hal yang menyentuh saat dia sadar di hampir meninggalnya, dia berkata, "I need your help. I am injured, near death, and too weak to hike out of here. I am all alone, this is no joke."

Kesalahan tidak membuat Chris unik, keberaniannya.
Melalui film ini, keberanian itu masih ada.