Minggu, 09 Juni 2013

Jika Allah Mengizinkan, Maka Jadilah ...


Ya, jika Allah mengizinkan, maka jadilah..
Barakallah teruntuk A Adjie dan Teh Karina yang telah menyempurnakan setengah agamanya. Insya Allah saya dan teman-teman lainnya akan menyusul pada saatnya nanti. Amiin..

Mereka ini adalah kaka kelas saya ketika saya bersekolah di Smansa Bogor, satu organisasi pula, Liman Seta Wijaya Kusuma (LSWK). A Adjie terpaut dua tahun, sedangkan Teh Karina terpaut satu tahun dengan saya. Saya ingat, dahulu mereka sering di-cengceng-in oleh kawan-kawannya. Tapi ya kalau kenal A Adjie, dia ini terlewat cool dan rohis banget, jadi agak sedikit mustahil melihat dia terpancing cengceng-an tersebut. Apalagi sepak terjang beliau di dunia dakwah juga tak bisa dipungkiri, menjadi ketua GAMAIS buktinya, semacam Lembaga Dakwah Kampus di ITB. Kalau melihat Teh Karina, ya begitu, susah dijelasin, kalau dijelaskan juga tak enak, karena akhwat. Hhe..
Owh ya, mereka menikah minggu lalu, hari Sabtu, 1 Juni 2013..

Kita doakan dulu yuk teruntuk kedua mempelai..
باَرَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
“Semoga Allah memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” 
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albani)

Saya pikir yang shock saat menerima jarkoman pasti bukan saya saja. Yang terlontar pertama pasti kata "Wah..."
Kalau kata Azka, "Merinding pay baca jarkomannya."
Ya begitulah, karena siapa yang menyangka..
Kalau kata Tyas, cool-nya mereka adalah.. Seperti Fatimah, yang mencinta dalam diam.. Kenapa dalam diam, karena memang belum waktunya pada saat itu.. Cool bukankah?
Saya pikir banyak pelajaran yang bisa diambil untuk kita-kita yang belum dan insya Allah akan menikah..
Yupz, menjaga kesucian hati. Tamparan sekali memang. Secara, terkadang bibir ini terasa mudah untuk mengumbar cinta kepada yang sebenarnya belum tentu menjadi siapa nantinya, kepada yang belum tentu nantinya ada di sebelah kita saat kita terbangun. Menahanlah intinya..

Ya, kata Ust. Anis Matta, perasaan manusia itu selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senang dan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin terasa sublim adalah bahwa fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan tidak terungkap atau disadari tapi tidak terungkap. Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain bahwa setiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. Kita mungkin bisa menangkap itu dari sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkapkan secara verbal. Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dari waktu ke waktu, membutuhkan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan? Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita.

Pembelajaran sekali, terutama teruntuk yang menulis.. Hiks..
Apalagi setelah diingatkan oleh saudari Husnul, terkait sesuatu. Ya, sesuatu..
Ya, saya selalu percaya bahwa memang banyak orang jahat di dunia ini, tapi juga selalu percaya bahwa banyak pula orang baik yang memperhatikan kita di sekeliling kita..

Terlepas dari berlangsungnya pernikahan ini. Tentunya saya masih salut dengan kekeluargaan LSWK. Sungguh.. Terutama angkatan 32, 33, 34. Kita sama-sama tahu kalau kita cool. Dan yang bikin pe to the cah, PECAH, kita menggemparkan tempat pernikahannya dengan PRADJA bersama di pelaminan. Hmm.. Itu ga norak kok. Ga norak kan? Iya, ga norak. Sungguh.. Hhe..

Senang sekali lho bisa bertemu lagi dengan quefafa (Baca: angkatan 34). Sayang yang berkesempatan hadir hanya saya, egha (pradana WK), ayam (waprad LS), tyas (juang WK), Ryan (kabigitek LS), Ochi (kabgitek WK), Lulu (bigitek WK), Husnul (Infokom WK). Yang belum berkesempatan hadir.. Insya Allah kita akan berjumpa lagi nanti.. Mungkin di pernikahan salah satu di antara kita? Cheers..

Salut juga sama kakak-kakak 33, yang masih menjadi panutan. Kalian cool, pada sukses semua. Ternyata kita masih klop sedari dulu, walaupun dulu sering ditindas, terutama saat regenerasi. Haha.. Tapi itu pengalaman yang sangat luar biasa, dibimbing kalian.. Yeah..

Here it is.. My Captures..

PRADJA bersama kedua mempelai.
Menunggu giliran.
Egha, Husnul, Ochi. Kapan menikah?
Cool. LSWK, 34
Cantik. Wijaya Kusuma, 34
Pradana LSWK, 34. Hehe..
Makan bersama 33 dan 34
Makan bersama 33 dan 34
Foto di depan cafenya, semacam kewajiban.
Kewajiban yang berkali-kali: Foto-foto.
Teh Niken dan Teh Vanja. Duo kalem.
Teh Gita dan Pembina (iya kan? Haha..)
Ochi, Egha. Berangkulan.
Teh Ratih dan A ikbal beserta supirnya, A Danan. Hehe..

Sabtu, 08 Juni 2013

A Novel by Ayu Utami: Saman


Saya tertarik untuk membaca buku ini ketika sedang berkunjung ke rumah paman. Tertarik pada cover-nya sesungguhnya, seperti sesorang yang sedang menuliskan sesuatu, sehingga membuat penasaran seperti apa isinya. Tanpa basa-basi, langsung dibawa ke rumahlah bukunya. Namun ternyata, sempat tertunda empat tahun untuk membaca buku ini. Entah.. Lupa sepertinya.. Seperti biasa..

Cetakan pertama buku ini terbit tahun 1998 dan memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998. Sebelum membaca buku ini, saya sudah diwanti-wanti, karena buku ini sarat kontroversi dari segi gaya bahasanya. Namun ternyata saya suka gaya bercerita Ayu Utami yang gamblang. Ia membicarakan "seks" yang tabu dengan caranya. Kalau sebuah buku menjadi kontroversi karena ia vulgar membicarakan seks, apa ada yang aneh? Bukankah sudah sebuah keniscayaan? Pernyataan ini bukan berarti saya suka membicarakan seks yaa.. -.-"
Saya hanya mengapresiasi sebuah karya..

Latarnya sangat Indonesia, tetap ke-timur-an walaupun banyak menceritakan ke-barat-an. Pesan-pesan implisit yang sangat halus mengenai ideologi, politik, feminisme, dan agama mendominasi bukunya. Kaya akan informasi yang membuat kita ber-"oh" ria..

Yang menjadi masalah adalah pusat konfliknya, karena saya tidak menemukannya. Kisah ini menjadi semacam buku yang hanya bercerita mengenai keempat wanita yang bersahabat, seorang pria yang sudah beristri, dan seorang pastor yang keluar dari parokialnya. Walaupun setiap jengkal ceritanya menarik, yang menjadi pengikat dari semua cerita ini hanyalah persahabatan keempat wanita tersebut, yang tiga diantaranya memiliki hubungan dengan kedua pria tersebut. Alurnya sepertinya memang dibiarkan menggangtung dan tamat begitu saja..

Saya tertarik dengan sudut pandang Ayu dalam melihat situasi, cara dia menggali realitas dengan insight yang jarang ditemukan penulis lain. Matanya mungkin tidak menatap sekeliling, Ayu hanya melihat satu objek, namun objek itu berhasil ia telanjangi hampir sepenuhnya..

Seperti mengajak pembaca masuk ke "alam sadar" kenyataan. Yang seringkali tidak disadari sebagai kenyataan. Ayu tidak menghipnotis pembaca. Ia menghipnotis kenyataan.

Buku yang baik dengan gaya bahasa yang "berbeda"..
4 dari 5 bintang.. :)

Berikut beberapa kutipan yang ciamik dari buku ini..

"adakah keindahan perlu dinamai?"
"Waktu adalah hal yang aneh sekali. Bagaimana dia bisa memisahkan kita dari kita di masa lalu?"
 "Dan Timur dan Barat pastilah konsep yang amat ganjil, sebab kita berbicara tentang kesopanan sambil telanjang."
 "Banyak orang jahat di dunia ini, tapi juga selalu banyak orang baik yang memperhatikan aku di sekelilingku."
"Dunia ini penuh dengan orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum, atau aparat."
"Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong. Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu."
"Banyak hal yang dengan mudah terlupakan, seperti sama sekali lupa kenapa kita tidak bisa mengingatnya lagi. Sesuatu bisa begitu saja hilang dari ingatan, seperti arwah, seperti mimpi. Kita cuma bisa merasakan jejaknya pada diri kita tanpa bisa mengenalinya lagi. Kita tinggal benci, kita tinggal marah, tinggal takut, tinggal cinta. Kita tak tahu kenapa."
"Tapi mencari suami memang seperti melihat toko perabot untuk setelan meja makan yang pas buat ruangan dan keuangan. Kita datang dengan sejumlah syarat geometri dan bujet. Sedangkan kekasih muncul seperti sebuah lukisan yang tiba-tiba membuat kita jatuh hati. Kita ingin mendapatkannya, dan mengubah seluruh desain kamar agar turut padanya. Laila selalu jatuh cinta pada lukisan, bukan meja makan."

Kamis, 06 Juni 2013

Lagi, Obrolan Sederhana

Umil
Sekiranya banyak berbuat salah, banyak mempersalahkan, banyak disalahkan.. Istighfar..

Kenapa jika berbuat salah jadi mempersalahkan atau dipersalahkan?

Umil
Boleh jadi.. Karena tak terima berbuat salah sehingga mempersalahkan.. Akibatnya bisa dipersalahkan.. Atau memiliki asumsi lain?

Jadi membicarakan asumsi. Haha.. Ya, fitrahnya manusia berbuat salah bukankah.. Namun setuju juga.. Yang paling ampuh, dalam diam memperbaiki..

Umil
Seharusnya.. Tapi dalam diam, yang sudah diperbaiki tetap menjadi salah bagi yang melihat bukan kedalam.. Yaa, who knows..

Hmm.. yang berhak menjudge hati, hanya Yang Maha Memiliki kita bukankah? Walaupun manusa bertindak atas apa yang mereka tahu..

Umil
Tentunya.. Kalau begitu, yaa harus pandai-pandai menjaga hati.. Untuk semua orang..

Waaaaah.. I see i see i see i see i see.. Terima kasih sudah diingatkan..

Umil
Saling mengingatkan tepatnya.. Hehe..